Selasa, 28 Mei 2013

Bid'ah Politik


 
  Politik pada hakekatnya adalah suci dan luhur. Karena merupakan norma, nilai dan aturan yang ditujukan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi demokratis, berkeadilan, bermartabat sesuai dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana politik itu dijalankan.
Akan tetapi akhir-akhir ini politik menjadi sasaran kritik yang sangat tajam dari masyarakat, sebagai akibat prilaku menyimpang dari para pelaku politik itu sendiri, baik mereka yang bergerak dibidang legeslatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga dimasyarakat luas disaat mereka bersentuhan dengan aplikasi politik itu sendiri, seperti Pemilukada, Pileg dan Pilpres. Dimana politik tidak menunjukkan wajahnya yang bermoral, santun, dengan ekspresi dan semangat kejuangan untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat serta prilaku yang berkeadaban yang disinari dengan nilai-nilai luhur bangsa dan keyakinan agama yang suci. Politik tansaksional dewasa ini tengah menghiasi wajah politik bangsa, kedaulatan rakyat telah tergeser dengan “kedaulatan uang”. Dan fenomena yang sangat memprihatinkan telah merobek moralitas dan jatidiri bangsa, dimana secara vulgar masyarakat menyatakan “wanipiro” (berani bayar berapa-bhsjawa), disaat mereka diajak untuk mempergunakan hak pilihnya, dimana hal itu merupakan salah satu hak-hak dasar yang dimiliki oleh rakyat, hak politik yang sangat esensial untuk menentukan masa depan bangsa. Hal itu diucapkannya dengan enteng seperti menukar barang mainan, yang bias ditukar dengan mudah dan murah. Secara tidak sadar mereka telah melakukan penyimpangan terhadap makna dan prilaku politik. Sebagaimana diketahui bahwa Politik transaksional itu terjadi, adalah merupakan buah dari pragmatism politik, sebagai akibat logis dari tercerabutnya ideology politik dari partai politik, serta sirnanya moralitas politik dari para pelaku politik. Secara transparan dapat kita ikuti, pada proses pemilukada, dimana seorang calon kepala daerah dituntut untuk menyediakan biaya yang sangat besar, konon hingga sampai puluhan milyar, dan untuk calon anggota legeslatif, diperlukan dana sampai satu-dua milyar. Memang kita bias memahami bahwa untuk proses pencalonan seseorang baik untuk calon kepala daerah maupun anggota legeslatif, diperlukan infra struktur seperti baliho, spanduk, poster, sebagai alat kampanye, dan juga pertemuan-pertemuan terbuka maupunt ertutup, sebagai media kampanye. Akan tetapi dengan sampai menghabiskan dana puluhan milyar itulah yang menjadi tanda Tanya besar. Barang kali dapat dipastikan bahwa dana besar itu diperlukan untuk “membayar” pemilih, atau “membeli” suara. Yang dalam bahasa agama adalah “risywah” atau suap. Syeh Muhammad Yusuf Qordhowi dalam bukunya “Al-Halal wal haram fil Islam” menyatakan bahwa suap adalah salah satu bentukperbuatan yang diharamkan dalam Islam, dan dilaknat oleh Allah danRasul-Nya, sebagaimana Sabda Rasulullah : “Allah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR.Ahmad, Tarmidzi, dan Ibnu Hibban), bahkan orang yang menfasilitasi terjadinya suap juga termasuk yang dilaknat. “Rasulullah melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara suap” (HR. Ahmaddan Hakim). Padahal politik dalam prespektif Islam, adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan, tugas amarma’ruf nahi munkar, tugas merubah kehidupan masyarakat menuju masyarakat yang ber-iman, ber-ahlaqulkarimah, untuk membangun tatanan social yang rukun, damai, saling mengormatidan menghargai, dengan landasan tuntunan ilahi. Dengan demikian politik sejatinya adalah implementasi dari da’wah, khususnya da’wahsiyasiyah, yaitu mengajak masyarakat untuk berbuat dan berlomba meraih kebajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar prespektif itulah, maka politik harus dilandasi dengan nilai-nilai Al-Amanah (pertanggungjawaban), Al-Khuriyyah (kebebasan), dan Al-Ukhuwwah (persatuan). Nilai Al-Amanah, maka politik harus memiliki dimensi pertanggung jawaban, tidak hanya kepada masyarakat, akan tetapi kepada Allah swt, karena politik sebagai perwujudan tugas manusia sebagai khalifahfil-ardh. Nilai Al-Khuriyyah, maka politik harus berdimensi membebaskan masyarakat dari kedloliman, ketidak adilan dan penistaan serta kemiskinan dan kebodohan. Nilai Al-Ukhuwwah, maka politik harus memperkuat persatuan bangsa, memperkokoh kebersamaan, bukan merusak dan memecah belah umat. Apalagi sampai menghancurkan NKRI. Tiga nilai itulah yang akan menghantarkan politik menjadi bermakna dan terjaga keluhuran dank esuciannya, yang selanjutnya dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara, dengan kata lain politik menjadi fungsional, merubah dan membangun masyarakat menjadib aik, maju, mandiri dan sejahtera, menujumasyarakatmadani yang marhamah. Praktek risywah atau politik transaksional, jelas bertentangan dengan nilai syariat, merusak moralitas bangsa, menghancurkan nilai idealism masyarakat, dikerdilkan wawasan kebangsaannya, serta mendegradasi system dan nilai politik yang suci dan luhur. Politik transaksional adalah merupakan bid’ahpolitik yang harus kita cegah dan kita hindari.   
 Oleh: HA. Chozin Chumaidy