Politik pada hakekatnya adalah suci dan luhur. Karena merupakan norma,
nilai dan aturan yang ditujukan untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara menjadi demokratis, berkeadilan, bermartabat
sesuai dengan falsafah yang dianut oleh masyarakat dimana politik itu
dijalankan.
Akan tetapi akhir-akhir ini politik menjadi sasaran kritik yang sangat
tajam dari masyarakat, sebagai akibat prilaku menyimpang dari para
pelaku politik itu sendiri, baik mereka yang bergerak dibidang
legeslatif, eksekutif maupun yudikatif, bahkan juga dimasyarakat luas
disaat mereka bersentuhan dengan aplikasi politik itu sendiri, seperti
Pemilukada, Pileg dan Pilpres. Dimana politik tidak menunjukkan wajahnya
yang bermoral, santun, dengan ekspresi dan semangat kejuangan untuk
kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat serta prilaku yang berkeadaban
yang disinari dengan nilai-nilai luhur bangsa dan keyakinan agama yang
suci.
Politik tansaksional dewasa ini tengah menghiasi wajah politik bangsa,
kedaulatan rakyat telah tergeser dengan “kedaulatan uang”. Dan fenomena
yang sangat memprihatinkan telah merobek moralitas dan jatidiri bangsa,
dimana secara vulgar masyarakat menyatakan “wanipiro” (berani bayar
berapa-bhsjawa), disaat mereka diajak untuk mempergunakan hak pilihnya,
dimana hal itu merupakan salah satu hak-hak dasar yang dimiliki oleh
rakyat, hak politik yang sangat esensial untuk menentukan masa depan
bangsa. Hal itu diucapkannya dengan enteng seperti menukar barang
mainan, yang bias ditukar dengan mudah dan murah. Secara tidak sadar
mereka telah melakukan penyimpangan terhadap makna dan prilaku politik.
Sebagaimana diketahui bahwa Politik transaksional itu terjadi, adalah
merupakan buah dari pragmatism politik, sebagai akibat logis dari
tercerabutnya ideology politik dari partai politik, serta sirnanya
moralitas politik dari para pelaku politik. Secara transparan dapat kita
ikuti, pada proses pemilukada, dimana seorang calon kepala daerah
dituntut untuk menyediakan biaya yang sangat besar, konon hingga sampai
puluhan milyar, dan untuk calon anggota legeslatif, diperlukan dana
sampai satu-dua milyar. Memang kita bias memahami bahwa untuk proses
pencalonan seseorang baik untuk calon kepala daerah maupun anggota
legeslatif, diperlukan infra struktur seperti baliho, spanduk, poster,
sebagai alat kampanye, dan juga pertemuan-pertemuan terbuka maupunt
ertutup, sebagai media kampanye. Akan tetapi dengan sampai menghabiskan
dana puluhan milyar itulah yang menjadi tanda Tanya besar. Barang kali
dapat dipastikan bahwa dana besar itu diperlukan untuk “membayar”
pemilih, atau “membeli” suara. Yang dalam bahasa agama adalah “risywah”
atau suap.
Syeh Muhammad Yusuf Qordhowi dalam bukunya “Al-Halal wal haram fil
Islam” menyatakan bahwa suap adalah salah satu bentukperbuatan yang
diharamkan dalam Islam, dan dilaknat oleh Allah danRasul-Nya,
sebagaimana Sabda Rasulullah : “Allah melaknat penyuap dan yang menerima
suap” (HR.Ahmad, Tarmidzi, dan Ibnu Hibban), bahkan orang yang
menfasilitasi
terjadinya suap juga termasuk yang dilaknat. “Rasulullah melaknat orang
yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara suap” (HR.
Ahmaddan Hakim).
Padahal politik dalam prespektif Islam, adalah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan, tugas amarma’ruf nahi munkar,
tugas merubah kehidupan masyarakat menuju masyarakat yang ber-iman,
ber-ahlaqulkarimah, untuk membangun tatanan social yang rukun, damai,
saling mengormatidan menghargai, dengan landasan tuntunan ilahi.
Dengan demikian politik sejatinya adalah implementasi dari da’wah,
khususnya da’wahsiyasiyah, yaitu mengajak masyarakat untuk berbuat dan
berlomba meraih kebajikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas
dasar prespektif itulah, maka politik harus dilandasi dengan nilai-nilai
Al-Amanah (pertanggungjawaban), Al-Khuriyyah (kebebasan), dan
Al-Ukhuwwah (persatuan). Nilai Al-Amanah, maka politik harus memiliki
dimensi pertanggung jawaban, tidak hanya kepada masyarakat, akan tetapi
kepada Allah swt, karena politik sebagai perwujudan tugas manusia
sebagai khalifahfil-ardh. Nilai Al-Khuriyyah, maka politik harus
berdimensi membebaskan masyarakat dari kedloliman, ketidak adilan dan
penistaan serta kemiskinan dan kebodohan. Nilai Al-Ukhuwwah, maka
politik harus memperkuat persatuan bangsa, memperkokoh kebersamaan,
bukan merusak dan memecah belah umat. Apalagi sampai menghancurkan NKRI.
Tiga nilai itulah yang akan menghantarkan politik menjadi bermakna dan
terjaga keluhuran dank esuciannya, yang selanjutnya dapat memberikan
kemaslahatan bagi bangsa dan Negara, dengan kata lain politik menjadi
fungsional, merubah dan membangun masyarakat menjadib aik, maju, mandiri
dan sejahtera, menujumasyarakatmadani yang marhamah.
Praktek risywah atau politik transaksional, jelas bertentangan dengan
nilai syariat, merusak moralitas bangsa, menghancurkan nilai idealism
masyarakat, dikerdilkan wawasan kebangsaannya, serta mendegradasi system
dan nilai politik yang suci dan luhur. Politik transaksional adalah
merupakan bid’ahpolitik yang harus kita cegah dan kita hindari.
Oleh: HA. Chozin Chumaidy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar