Selaku pengajar di Pesantren Ciganjur,
tidak jarang saya mendengar ceramahnya yang berbeda dengan kesan di
luar. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika dia
mengatakan, ”Sebagai seorang muslim, saya harus yakin bahwa Islam adalah
yang paling benar. Saya tidak mungkin menganggap agama orang lain
sama-sama benarnya seperti agama saya. Bagaimana mungkin saya menganggap
mereka bisa masuk surga seperti saya, la wong mereka menganggap kita-kita ini adalah kaum sesat yang harus diselamatkan.”
Ungkapan tersebut memang tampak janggal
jika disampaikan oleh Gus Dur, sosok yang dikenal sebagai Bapak
Pluralisme. Namun begitulah kenyataannya. Ungkapan tersebut tampak
begitu polos dan jujur. Merujuk pada pernyataan tersebut, pertanyaan
yang muncul adalah konsep pluralisme seperti apa yang dijalani Gus Dur
semasa hidupnya?
** * **
Bagaimanapun Gus Dur adalah anak
biologis dan ideologis kaum santri tulen. Ayah, Ibu, dan kakeknya adalah
pemimpin organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia. Mereka
lahir dan dewasa dalam lingkungan pesantren, yang sangat kental dengan
ajaran agama yang ketat. Meski begitu, Gus Dur dan ayahnya, KH. Wahid
Hasyim adalah sosok pembaharu dalam tradisi pesantren dan menguasai
khazana pemikiran Islam klasik dan modern, serta memahami pemikiran
Barat. Hingga wafat, Gus Dur juga selalu mengikuti perkembangan dunia
kontemporer.
Pluralisme ala Gus Dur
Setidaknya ada tiga ayat Alquran yang selalu dikutip Gus Dur dalam ceramah di Pesantren Ciganjur, yaitu: “Tidak ada paksaan dalam agama”; “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”; dan “Agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam”.
Dari ketiga ayat yang sering disampaikan tersebut menunjukkan bahwa Gus
Dur memegang teguh dan bersikap konsistens terhadap agamanya, bahkan
bisa dibilang, Gus Dur bersikap “intoleransi” dalam berteologi.
Namun demikian dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, Gus Dur menunjukkan sikap yang berbeda. Dia
menunjukkan sikap menghormati terhadap pilihan agama dan keyakinan orang
lain sebagai realisasi prinsip kebebasan dalam beragama dan
berkeyakinan. Oleh karena itu, Gus Dur cenderung menunjukkan sikap
reaktif terhadap siapa saja, baik individu atau lembaga yang berusaha
menghalangi orang lain untuk mencari kebenaran yang diyakininya.
Terkait kasus Ahmadiyah, misalnya, Gus
Dur menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah keliru. Akan tetapi mereka adalah
warganegara sah yang harus dilindungi oleh undang-undang. Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa pembelaan dia terhadap kelompok Ahmadiyah
lebih pada upaya melindungi kelompok-kelompok dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, bukan membenarkan ajarannya.
Gus Dur juga pernah berpendapat bahwa
dirinya tidak setuju terhadap seorang muslim yang menyatakan agama orang
lain adalah benar sebagaimana kebenaran agamanya. Dia lebih suka
mengatakan, “Semua agama mengajarkan kebaikan dan kebenaran”. Dari kedua
pendapat tersebut, dia menunjukkan terdapat perbedaan substansial dalam
beragama. Dia tidak mau terlibat terlalu jauh ke dalam urusan kebenaran
yang diyakinani oleh orang lain tersebut. Sebab, menurut dia, setiap
orang akan mempertanggungjawabkan keyakinannya sendiri-sendiri di
hadapan Tuhan.
Di sini Gus Dur memberi contoh kepada
para tokoh muslim maupun nonmuslim, bagaimana harus bersikap dengan
pemeluk agama lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa
kehilangan identitas. Dia membedakan secara jelas mana wilayah privat
dan mana wilayah publik.
Melalui pandangan dan sikap tersebut,
konsep pluralisme yang dijalani oleh Gus Dur tampak berbeda dengan
konsep pluralisme yang digunakan sebagai dasar MUI dalam menetapkan
fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme. Konsep
pluralisme yang dijalani Gus Dur bukan pluralisme dalam pengertian suatu
paham yang mengakui semua agama-agama benar.
Akan tetapi, konsep pluralisme yang
dijalani Gus Dur lebih dekat pada konsep yang menyatakan bahwa dalam
masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang mengatur diri sendiri
dan saling berhubungan serta berdampingan, namun masing-masing kelompok
tersebut mempunyai eksistensi yang berbeda, sebagaimana konsep yang
diusulkan oleh J.S. Furnivall (1948) dan dikembangkan oleh L. Kuper dan
M. G. Smith (1969). Konsep tersebut lebih terkait dalam pola kehidupan
berbangsa dan bernegara secara umum, bukan spesifik dengan urusan agama.
Dengan demikian, konsep pluralisme yang terkait secara khusus dengan
masalah agama, sebagaimana yang digunakan MUI beberapa tahun lalu, perlu
dibatasi dalam konsep yang spesifik, yaitu konsep ”pluralisme agama”,
sehingga konsep pluralisme tidak mengalami kerancuan makna.
** * **
Dengan memahami konsep pluralisme yang
dijalani Gus Dur tersebut tampak bahwa Gus Dur tidak terjebak dalam
konsep pluralisme sempit yang banyak disalahpahami masayarakat,
khususnya masyarakat muslim di Indonesia. Dengan pemahaman pluralisme
yang demikian, Gus Dur tampak lebih mengutamakan keutuhan dan kedamaian
bangsa dengan tanpa kehilangan identitas dan keyakinannya. Meski dia
menganggap agama yang dianutnya paling benar, bukan berarti secara
psikologis pergaulannya dengan semua pihak yangberagam latar belakang,
baik sosial, budaya, ras, golongan, termasuk agama terhambat demi
kemajuan peradaban bangsa.
Justru dengan sikap demikian, kita dapat
melihat kebesaran Gus Dur. Dia adalah sosok yang memang layak disemati
sebagai Bapak Bangsa, Bapak Pluralisme, dan menerima gelar Pahlawan
Nasional.
[i] Penulis adalah Dosen Institut PTIQ Jakarta dan Pesantren Ciganjur
Sumber:http://pusaka.ptiq.ac.id/?p=47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar