oleh:Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
|
Foto : Istimewa |
Stimulus yang sama mungkin saja dipersepsikan berbeda bahkan
berkebalikan oleh dua orang, dalam waktu yang sama. Hal ini terjadi pada
kawasan wisata di Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur (Cahyaningrum, 2013). Pada tahun 1970-an, kondisi laut di daerah
Bangsring, di pinggir Selat Bali, sangat memprihatinkan. Terumbu karang sebagai
tempat berkembang biak ikan, telah rusak parah. Hal ini karena nelayan
menggunakan bom dan bahan kimia lainnya sebagai cara untuk menangkap ikan. Dampaknya
adalah para nelayan kesulitan menangkap ikan sehingga pendapatannya menurun.
Salah seorang nelayan telah menjadi pionir untuk menyelamatkan kawasan wisata
itu dengan cara menanam terumbu karang. Ia mempersepsikan bahwa terumbu karang
harus dihidupkan kembali, sebagai salah satu cara untuk menaikkan pendapatan
dan strategi untuk menjaga lingkungan secara lebih baik. Pionir itu bahkan
bersedia menyumbangkan sebagain pendapatannya untuk kegiatan restorasi
lingkungan. Nelayan lain, mempersepsikan bahwa restorasi terumbu karang adalah
kegiatan yang menyita waktu sehingga pendapatannya berkurang.
Perbedaan persepsi tentang rusaknya terumbu karang, atau kondisi
lingkungan hidup buruk lainnya, telah menimbulkan perilaku yang berbeda juga. Satu
perilaku lebih ke arah pro lingkungan hidup, sedangkan perilaku lainnya tidak
mempedulikan restorasi lingkungannya bahkan justru merusaknya. Padahal di sisi
lain restorasi lingkungan membutuhkan waktu jauh lebih lama daripada waktu
untuk merusaknya. Selain itu, situasi ekonomi keluarga tidak dapat menunggu
selesainya waktu restorasi lingkungan hidup. Oleh karena itu hampir semua orang
mempunyai persepsi untuk merusak lingkungan hidup demi mencukupi kebutuhan
ekonomi. Hanya segelintir orang saja yang mempunyai persepsi untuk merawat
lingkungan hidupnya. Perbedaan persepsi tentang kegawatan kondisi lingkungan
hidup inilah yang sering menjadi persoalan dalam masyarakat. Psikologi
lingkungan dituntut untuk membantu menumbuhkan persepsi pro lingkungan hidup di
masyarakat.
Apa persepsi lingkungan hidup itu? Persepsi terhadap
lingkungan hidup adalah cara-cara individu memahami dan menerima stimulus
lingkungan yang dihadapinya. Proses pemahaman tersebut menjadi lebih mudah
karena individu mengaitkan objek yang diamatinya dengan pengalaman tertentu,
dengan fungsi objek, dan dengan menciptakan makna-makna yang terkandung dalam
objek itu. Penciptaan makna-makna itu terkadang meluas, sesuai dengan kebutuhan
individu (Fisher, Bell, & Baum, 1984). Contoh dari persepsi itu ialah
individu mengamati sebuah pohon besar dengan batangnya yang besar dan daunnya
rimbun. Persepsi yang muncul adalah sebuah benda yang dapat menjadi peneduh
yang menyenangkan, tempat untuk pesta kebun, tempat untuk berpose bagi penganti
yang senang dengan hal-hal yang alami, atau bisa juga sebagai tempat yang
mengerikan karena banyak hantunya. Pohon itu juga bisa berfungsi penyumbang
devisa negara dengan cara dijual, dan juga untuk kayu bakar.
Persoalan yang muncul dengan persepsi adalah manusia terlalu
kreatif dalam menciptakan persepsi berdasarkan manfaat. Dampaknya adalah
keseimbangan ekologi menjadi terguncang. Dampak yang segera muncul akibat
terlalu kreatifnya manusia adalah penggundulan hutan, banjir, serta
keanekaragaman flora dan fauna turun. Kalau melihat dampak yang mengerikan itu,
maka sebenarnya bukan persepsi manusia yang terlalu kreatif, tetapi persepsi
manusia yang terlalu serakah. Manusia ingin memanfaatkan semua isi bumi
secepat-cepatnya tanpa memikirkan kebutuhan makhluk lainnya.
Bagaimana cara menjelaskan persepsi dalam bentuk skema?
Berikut adalah skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dan
kawan-kawan (dalam Sarwono, 1995).
Gambar 1. Skema persepsi
Gambar 1 menunjukkan bahwa individu menghadapi/mengamati dan
ingin memahami suatu objek fisik yang ada di lingkungannya. Objek fisik itu
mempunyai sifat-sifat tertentu misalnya pohon besar mempunyai sifat daunnya
banyak dan batang kayunya besar (nyaman untuk berteduh), buahnya banyak, enak
dimakan dan tempat bergantung buah mudah dijangkau (pohon itu memang
menyenangkan). Individu juga mempunyai sifat, pengalaman, pengetahuan, dan
ketrampilan tertentu. Misalnya individu itu bersifat penyabar, pengalamannya
luas dan ia sering berada di tempat-tempat konservasi hutan karena profesi
pekerjaannya. Ia juga mempunyai ketrampilan merawat pohon karena semenjak kecil
ia dilatih orangtuanya untuk peduli pada lingkungan hidupnya. Oleh karena itu
ia berpengalaman dalam bidang konservasi hutan.
Kini, ia berhadapan dengan situasi baru yang mana banyak
pohon besar tumbuh di sekelilingnya. Untuk memahami lingkungan barunya, ia
melakukan persepsi. Apabila lingkungan barunya tersebut dipersepsikan hampir
sama dengan tempat kerjanya yang lama, maka penyesuaian dirinya berlangsung
cepat dan mulus. Hal ini karena lingkungan barunya tersebut dipersepsikan masih
dalam batas-batas optimal. Dampaknya adalah keadaan individu tetap kosntan dan
stabil, atau disebut sebagai homeostatis. Dalam situasi homeostatis, individu
akan merasa nyaman dan ia akan berusaha untuk mempertahankan situasi itu.
Apabila situasi baru yang dihadapi individu ternyata sangat
berbeda dengan situasi-situasi yang pernah dialaminya (misalnya pohon yang
dihadapinya terlalu besar), maka individu mungkin akan mempersepsikan bahwa
situasi baru itu di luar batas optimal. Menghadapi pohon yang sangat besar
membuatnya stress, sehingga ia berusaha untuk mengatasi stress tersebut (coping behavior). Apabila usaha individu
mengatasi stress itu sukses maka ia telah melakukan adaptasi (penyesuaian diri,
mengubah diri agar sesuai dengan lingkungan) atau melakukan adjustment
(mengubah lingkungan agar sesuai dengan dirinya). Contoh perilaku adaptasi itu
antara lain menjadikan pohon besar itu sebagai rumahnya karena batang pohon tu
ada lubang besarnya. Dampaknya individu menjadi nyaman berhadapan dengan pohon
besar. Contoh perilaku adjutment yaitu menggergaji ranting-ranting dahan agar
tidak terlalu rimbun sehingga situasi di sekeliling menjadi lebih terang,
meskipun ia tidak perlu menebang pojon itu. Apabila pengalaman berhasil
mengatasi stress ini terjadi berulang-ulang, maka toleransi individu terhadap
kegagalan menjadi rendah. Ia berusaha keras agar terus berhasil. Individu juga
mengembangkan kemampuan untuk menghadapi stimulus-stimulus baru. Adjustment ini merupakan tanda bahwa
manusia tidak mau begitu saja tunduk pada gejala-gejala alam.
Apabila usaha individu dalam mengatasi stress ternyata gagal
dan bila kegagalan itu berulang kali terjadi, maka situasi itu merupakan
kondisi bagi individu meyakinkan dirinya bahwa ia memang orang yang tidak
mampu. Istilah dalam psikologi yaitu learned
helplessness atau rasa tidak berdaya. Rasa tidak berdaya itu merupakan
hasil belajar (Myers, 1994). Ini adalah salah satu bentuk dari gangguan mental
serius. Sebagai ilustrasi, individu berusaha untuk menggergaji pohon besar (stimulus)
itu karena pohon itu menghalanginya. Oleh karena gergaji yang dimilikinya hanya
kecil saja, maka usaha memotong pohon besar itu gagal. Kegagalan terus-menerus
untuk menggusur pohon besar itu, membuat individu percaya bahwa ia memang
dilahirkan dengan kemampuan yang rendah dalam mengatasi hambatan lingkungan
hidup.
Dalam pembahasan tentang persepsi terhadap lingkungan hidup,
hal yang paling penting adalah coping
behavior atau usaha-usaha individu untuk mengatasi stress akibat situasi lingkungan
hidup tidak nyaman. Pengetahuan tentang perilaku pengatasan stress ini penting
untuk berbagi pengalaman, sehingga kita semua mampu berpikir alternatif ketika
menghadapi kesuntukan akibat situasi lingkunga hidup di sekeliling tidak
nyaman. Berikut adalah contoh-contoh perilaku mengatasi stress pada lingkungan
yang tidak nyaman.
- Menunggu lampu merah di
jalan pada siang hari yang terik dengan kendaraan sepeda motor adalah situasi
yang sangat tidak nyaman. Upaya yang dapat dilakukan antara lain berteduh di
balik bayangan bis besar, berteduh di pohon dekat lampu merah, dan membayangkan
minuman segar di rumah yang segera akan dihabiskan. Tiga perilaku yang tidak
disarankan antara lain membuka telepon genggam karena perilaku semacam ini sangat
rawan kejahatan, merokok karena abu rokok membahayakan keselamatan pengendara
sepeda motor yang ada di dekatnya, dan membunyikan klakson terus-menerus karena
hal itu membuat kebisingan dan menjengkelkan pengendara lainnya.
- Menghadiri kuliah wajib pada
siang hari, perut lapar, mata pelajaran tidak menarik, dan dosennya juga
menjemukan. Alternatif perilaku antara lain membuat gambar kartun sebagai
ilustrasi tulisan di blog / media massa, dan mempersiapkan materi pelajaran
lain yang lebih menarik. Tentu saja perilaku tersebut sifatnya personal, dan
perlu adanya antisipasi sebelum kuliah berlangsung. Adanya antisipasi maka
individu dapat menyiapkan materi yang menarik yang akan diselesaikan pada saat
pelajaran yang membosankan itu berlangsung. Perilaku yang tidak disarankan
adalah membuka telepon genggam, karena perilaku itu tidak sopan dilakukan pada
saat kuliah berlangsung. Bahkan mungkin saja dosen akan marah / tersinggung
bila mahasiswa lebih memperhatikan isi telepon genggam daripada isi kuliah. Akan
lebih sopan bila mahasiswa meminta ijin keluar ruangan untuk keperluan
menelepon. Alternatif lain dalam menghadapi dosen yang menjemukan adalah dengan
mempersepsikan bahwa keberadaan dosen merupakan lahan untuk eksperimen
perubahan perilaku (Shinta, 2012)
- Menunggu dosen yang
mempunyai hobi terlambat pada kampus yang kumuh dan kotor. Upaya mengatasi
stress antara lain segera menghubungi bagian tata usaha untuk memastikan bahwa
dosen datang untuk memberikan kuliah. Sambil duduk menanti kedatangannya,
mahasiswa dapat segera menyiapkan materi pelajaran yang kira-kira akan
diberikan, meringkas materi pelajaran yang terdahulu, dan merancang
pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan pada saat kuliah nanti. Perilaku
yang tidak disarankan adalah menambah kekumuhan kampus, karena halaman kampus
bukan merupakan tong sampah yang besar.
Mungkin masih banyak situasi lingkungan hidup yang tidak
menyenangkan, dan kita harus berkutat dengan situasi itu. Persoalan yang
penting adalah bagaimana memunculkan kreativitas perilaku untuk mengatasi situasi yang tidak nyaman itu.
Perilaku yang dipilih hendaknya tidak melanggar peraturan, tidak membahayakan
diri sendiri atau orang lain, bahkan menginspirasi orang lain untuk lebih
peduli pada lingkungan hidup/ lingkungan sosial.
Diskusi tentang persepsi terhadap lingkungan sekeliling,
tentu menimbulkan pertanyaan mengapa persepsi orang-orang bisa berbeda-beda
padahal stimulus yang dihadapinya sama. Perbedaan persepsi ini terjadi karena ada
lima faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi yaitu budaya, status
sosial ekonomi, usia, agama, dan interaksi antara peran gender, desa/kota, dan
suku (Sarwono, 1995).
Budaya kuat peranannya dalam mempengaruhi persepsi
masyarakat. Sebagai contoh, suku-suku Afrika primitif terbiasa dengan lingkungan
alamiah yang mana banyak benda-benda alamiah yang sifatnya melingkar-lingkar.
Dampaknya adalah mereka tidak terpengaruh oleh gejala ilusi Muller-Lyer. Hal
ini berbeda dengan masyarakat perkotaan yang terbiasa dengan benda-benda yang
bentuknya kotak-kotak dan garis. Dampaknya masyarakat perkotaan terpengaruh
oleh gejala ilusi Muller-Lyer (Fisher et al., 1984; Sarwono, 1995).
Persepsi juga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi
(Sarwono, 1995). Penduduk yang kurang beruntung keadaan ekonominya cenderung
menggunakan air sungai Cikundul di Cianjur Jawa Barat untuk kebutuhan mandi, mencuci
dan memasak. Penduduk yang lebih beruntung status sosial ekonomi, sebaliknya,
mengambil air sungai Cikundul langsung dari sumbernya dengan menggunakan pipa
(Nurlia, 2006). Penelitian di Danau Tempe, sebaliknya, justru menunjukkan hasil
bahwa faktor status sosial ekonomi dan pendidikan tidak mempengaruhi
terbentuknya persepsi tentang perlunya konservasi danau (Dewi & Iwanuddin,
2005).
Usia juga berpengaruh terhadap pembentukan persepsi.
Anak-anak mempersepsikan seterika listrik dan pisau sebagai mainan, sedangkan
orangtuanya mempersepsikan benda-benda itu berbahaya (Sarwono, 1995). Pada
penelitian lain justru ditemukan bahwa usia tidak mempengaruhi persepsi untuk
konservasi danau. Penduduk usia muda dan tua di sekitar Danau Tempe sama saja
persepsinya tentang konservasi Danau Tempe di Sulawesi Selatan. Tidak ada
anggota masyarakat yang tergerak untuk melakukan konservasi Danau Tempe,
meskipun mereka mengetahui kerusakan danau dan manfaat danau dalam kehidupan
sehari-hari (Dewi & Iwanuddin, 2005).
Agama juga berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi terhdap
lingkungan. Di pesantren, warga perempuan cenderung duduk terpisah dengan warga
laki-laki walaupun tidak ada tulisan atau petunjuk tentang pemisahan tempat
duduk ini (Sarwono, 1995). Di Bali, penduduk beragama Hindu didorong untuk
peduli dengan konervasi lingkungan hidup, karena konservasi merupakan salah
satu bentuk dari ibadah (Sridanti, 2012).
Interaksi peran gender, lokasi tempat tinggal (desa / kota),
suku berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi. Hal ini terlihat pada Tabel di
bawah ini:
Tabel 1. Persepsi tentang jumlah anak
yang diinginkan
Suku
|
Desa
|
Kota
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Laki-laki
|
Jawa
|
1,82
|
2,93
|
1,15
|
3,57
|
Sunda
|
1,66
|
3,10
|
1,48
|
2,82
|
Minang
|
2,33
|
3,33
|
1,40
|
3,27
|
Batak
|
3,25
|
4,16
|
1,53
|
3,60
|
Tionghoa
|
--
|
--
|
0,93
|
2,84
|
Sumber: Ancok, 1988 dalam Sarwono, 1995.
Tabel 1 menunjukkan bahwa laki-laki lebih suka mempunyai anak
banyak dibanding perempuan. Kecuali laki-laki Jawa dan Tionghoa, laki-laki suku
Sunda, Minang, Batak di desa lebih suka mempunyaia naka banyak daripada
laki-laki kota. Mengapa terjadi perbedaan persepsi tentang jumlah anak yang
diharapkan antara perempuan dan laki-laki, antara penduduk desa dan kota,
antara suku Jawa dengan suku-suku lainnya?
Orang desa lebih suka mempunyai anak banyak daripada orang
kota, mungkin karena manfaat ekonomi. Orangtua di desa dapat memanfaatkan
anak-anaknya sebagai tenaga kerja di sawah. Orangtua di kota, cenderung menilai
anak sebagai sektor yang membutuhkan biaya sangat banyak, misalnya untuk biaya
pendidikan. Perempuan lebih suka anak sedikit daripada laki-laki mungkin karena
perempuan merasa terbebani oleh tugas rumah tangga yang hampir selalu
dibebankan pada perempuan daripada laki-laki (Siregar, 2003).
Sekali lagi perlu ditekankan dalam tulisan ini bahwa persepsi
terhadap lingkungan hidup penting, sebagai salah satu dasar bagi munculnya
perilaku yang lebih pro terhadap pelestarian lingkungan hidup. Meskipun
demikian, persepsi tidak selalu berkorelasi dengan perilaku. Hal ini tercermin
dari penelitian di Danau Tempe yang mana penduduk sekitar danau sudah menyadari
pentingnya konservasi danau, namun jarang ada penduduk yang bersedia terlibat
dengan suka rela melakukan konservasi danau (Dewi & Iwanuddin, 2005).
Mungkin kita semua perlu berkaca pada Ikhwan Arief, Ketua Kelompok Nelayan Ikan
Hias Samudera Bakti Desa Bangsring Banyuwangi (Cahyaningrum, 2013). Ikhwan
Arief bersedia mengkonservasi terumbu karang, bahkan dengan dana dari
kantongnya sendiri. Kita semua hendaknya perlu merenung bahwa bumi seisinya ini
adalah titipan anak cucu kita. Kita sebagai orangtua yang bertanggung jawab,
wajib mengembalikan bumi ini seisinya kepada anak cucu kita dalam kondisi yang
jauh lebih baik.
Daftar pustaka
Cahyaningrum, S. Y. (2013).
Menjaga nusantara: Nelayan penyelamat terumbu karang. Kompas, 15 Maret, hal. 24.
Dewi, I. N. & Iwanuddin.
(2005). Kajian sosial ekonomi budaya dan
persepsi masyarakat sekitar Danau Tempe. Retrieved on April 8, 2013 from:
http://puslitsosekhut.web.id/download.php?page=publikasi&sub=jurnal&id=102
Fisher, J. D., Bell, P. A. & Baum, A. (1984). Environmental
psychology. 2nd ed. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Myers, D. G. (1994). Exploring
social psychology. New York: McGraw-Hill, Inc.
Nurlia, A. (2006). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam
pengelolaan ekosistem sub daerah aliran sungai (DAS) Cikundul: Kasus di Desa
Sukaresmi Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Cianjur Jawa Barat. (Skripsi). Departemen Manajemen Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Retrieved on April 8, 2013 from
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/45938/E06anu.pdf?sequence=1
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi
lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi
UI.
Shinta, A. (2012). Strategi
mengatasi dosen yang menjemukan. Kup45iana.
Retrieved on April 8, 2013 from
yang-menjemukan.html
Siregar, F. A. (2003). Pengaruh nilai dan jumlah anak pada keluarga
terhadap norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3751/1/fkm-fazidah2.pdf
Sridanti, L. P. (2012). Pemberdayaan desa adat dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Retrieved on April 8, 2013 from
http://sridanti.files.wordpress.com/2013/03/jurnal-2012-sridanti.doc